Jumat, 12 Maret 2010

DIATAS KAMAR DIBAWAH ATAP

AKU MERENUNGI HARI - HARIKU

Aku selalu berada di atas kamar di bawah atap ketika malam datang. Kamu tahu kan tempatnya? Itu di loteng! Hampir tiap hari aku naik dan berdiam diri di sudut atas kamar itu. Senang sekali mendengar suara di bawah sana. Seperti malam ini.

Kadang mereka tidak tahu waktu. Malam belumlah terlalu larut. Lampu di kamarku masih menyala. Aku belum tidur. Sedang mengerjakan PR. Seperti menguji kepekaan telingaku, mereka mengeluarkan suara berbisik-bisik. Samar terdengar bagai menembus dinding kamarku. Dulu, aku mengira mereka sedang bercanda atau tengah bertengkar dan tidak mau diketahui orang lain. Namun sekarang aku tahu apa yang mereka lakukan.

Telingaku bisa langsung setajam kuping kelinci serupa antena mendapatkan sinyal yang diinginkan, jernih tanpa gangguan, saat bisikan itu dibarengi dengan bunyi berderit-derit. Membuat suara serangga malam di luar rumah tidak terdengar. Menggelitik gendang telingaku, mengganggu konsentrasiku belajar. Sebab jantungku seperti berhenti berdetak saking cepatnya memacu. Dadaku bergemuruh bagai amuk badai menghancurkan segala pertahanan diri. Tak satu pun soal bisa kujawab. Aku menyerah. Kutindih buku tulis dengan pena. Kumatikan lampu dan gelap seketika. Aku berdiri tegap serupa hantu yang ingin mengusik.

Kawan, akan kujelaskan padamu bagaimana caranya aku bisa naik ke atas sana.

***

Mula-mula kusingkirkan segala alat tulis dan kupastikan meja belajar mampu menahan berat badanku saat aku menginjaknya. Lalu kuangkat kaki kiri menapaki pinggir meja dan kaki kanan setelahnya untuk menjaga keseimbangan. Sebisa mungkin tanpa bunyi, tapi tetap saja gerakanku menimbulkan suara, meski kecil. Namun aku yakin tak kan terdengar sampai di seberang sana. Walau begitu aku tetap harus hati-hati.

Kutarik napas sejenak. Kemudian secara perlahan telapak kaki kananku menginjak gagang pintu sehingga terdorong ke bawah. Pintu tidak terbuka lantaran sudah kukunci. Kedua tanganku menggenggam kosen pintu yang berbentuk kotak-kotak dan tak berkaca. Sementara tungkai kaki kiriku terayun-ayun mengambil ancang-ancang.

Kakiku yang menginjak udara itu melayang ke atas dan hinggap di balok kosen paling bawah. Jari-jarinya saling merekat dan menekuk bagai mencengkeram. Gayaku mirip dengan pemanjat tebing. Ototku yang tidak berotot menjadi kejang karena tertarik.

Badanku mulai merayap seperti cicak raksasa menggerayangi dinding di keremangan malam. Tangan kananku menggapai permukaan tembok yang kasar. Ada pipa kabel listrik tak sengaja kusentuh. Ibu selalu mengingatkan agar jangan pernah memegang pipa tersebut, khawatir aku kesetrum. Biasanya Ibu mematikan hubungan listrik tiap kali aku membersihkan loteng ini yang dipenuhi sarang laba-laba, yang tidak mengenakkan pandangan kala mendongak. Kecuali ruang tamu, beberapa ruangan memang belum mempunyai plafon, termasuk kamarku dan kamar Ibu.

Sekarang aku berada di atas kamar. Sering tanpa bisa kucegah, serpihan tembok berjatuhan seperti rintik hujan menyentuh bebatuan. Agak berisik. Biasanya mereka beranggapan bahwa ada tikus berkeliaran di atas sini, jadi aku aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar